Tag
Ikhtiar Pemerintah Republik Indonesia untuk mengenalkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab kepada masyarakat Indonesia, melalui terjemahan berbahasa Indonesia, tentulah dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Supaya umat Islam, terutama mereka yang belum menguasai bahasa Arab, dapat memahami dan mengamalkan Kitab Sucinya dengan benar.
Namun, sejak terbit perdana hingga terbitan edisi revisi Al-Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Kemenag ini, ternyata terjemahannya mengandung banyak kesalahan prinsipil dan substansial. Fakta adanya revisi memang membuktikan adanya kesalahan terjemah yang harus dikoreksi dan diluruskan. Hanya saja, tim revisionis Kemenag belum mau bersikap fair, mengakui adanya kesalahan, melainkan menganggap sekadar beda tafsir dan beda sudut pandang saja. Padahal, kesalahan tarjamah harfiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam Buku Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an Kemenag RI, sangat fatal dan tidak ada kaitannya dengan perbedaan tafsir maupun sudut pandang. Kesalahan terjemah ini mustahil ditolerir, baik ditinjau dari segi akidah, syari’ah, mu’amalah, logika, maupun tata bahasa Arab.
Kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Kemenag RI, terutama disebabkan oleh kesalahan memilih metode terjemah, dimana, metode terjemah Al-Qur’an yang dikenal selama ini ada dua macam, yaitu tarjamah harfiyah dan tarjamah tafsiriyah.
Dalam pengantar cetakan pertama Al-Qur’an dan Terjemahnya, 17 Agustus 1965, Dewan Penerjemah Depag RI menyatakan bahwa terjemah dilakukan secara harfiyah (leterliyk). “Terjemahan dilakukan se-leterlijk (seharfiyah) mungkin. Apabila dengan cara demikian terjemahan tidak dimengerti, maka baru dicari jalan lain untuk dapat difahami dengan menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not.”
Merujuk Fatwa Ulama Jami’ah Al-Azhar Mesir, yang dikeluarkan tahun 1936 dan diperbarui lagi tahun 1960, Terjemah Al-Qur’an secara harfiyah hukumnya haram. Demikian pula yang difatwakan oleh Dewan Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 63947 tanggal 19 Jumadil ‘Ula 1426 H atau 26 Juni 2005.
Dalam fatwa tersebut juga ditegaskan bahwa terjemah Al-Qur’an yang dibenarkan adalah terjemah tafsiriyah. Dinyatakan haram karena bobot kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara syar’iyah maupun ilmiah, sehingga dikhawatirkan menyesatkan serta mengambangkan aqidah kaum Muslim.
Fatwa haram tarjamah harfiyah Al-Qur’an ke dalam bahasa ‘Ajam (non Arab), juga dikeluarkan oleh Dewan Ulama 7 negara di Timur Tengah. Yaitu, Jami’ah Al-Azhar, Kairo, Dewan Fatwa Ulama Saudi Arabia, Universitas Rabat Maroko, Jami’ah Jordania, Jami’ah Palestina, Dr. Muhammad Husein Adz-Dzahabi dan Syekh Ali Ash-Shabuni. Kesemuanya sepakat menyatakan, “bahwa terjemah Al-Qur’an yang dibenarkan adalah tarjamah tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.”
Lantas, apakah perbedaan antara tafsir dan tarjamah tafsiriyah? Adapun tafsir, adalah menjelaskan Al-Qur’an yang berbahasa Arab dengan bahasa Arab juga. Dalam menafsirkan Al-Qur’an perlu memperhatikan kaídah-kaidah yang berlaku, yang dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan dalam tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
Sedangkan tarjamah tafsiriyah, maksudnya menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan menggunakan pola-pola bahasa terjemahan. Sehingga, sangat penting untuk memperhatikan semua kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan mengetahui perbedaan pola kalimat serta konstruksi bahasa Arab dan bahasa terjemahannya, semisal struktur (tata bahasa), tasrif (morfologi/perubahan kata), rasa bahasa, logika bahasa, lingkungan bahasa, latar belakang bahasa, kadar intelektual bahasa, budaya bahasa.
Dalam menyusun tarjamah tafsiriyah ini, Al-Ustadz Muhammad Thalib menggunakan sekurang-kurangnya 16 rujukan kitab-kitab tafsir salaf, diantaranya: Tafsir At-Thabari, Tafsir Bahrul ‘Ulum oleh Imam Samarqandi, Tafsir Ad-Durrul Mantsur oleh Imam Suyuthi, Tafsir Al-Kasyf oleh Ats-Tsa’labi, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhim oleh Ibnu Katsir, Tafsir Ma’alimut Tanzil oleh Al-Baghawi, Tafsir Al-Muharraq Al-Wajiz oleh Ibnu ‘Athiyyah, Tafsir Al-Jawaahirul Hissaanu oleh Ats-Tsa’labi, Tafsir Al-Muntakhab oleh Kementerian Waqaf Mesir, Tafsir Al-Misbah Al-Munir oleh Tim Ulama India, At-Tafsir Al-Wajiz oleh Dr. Wahbah Zuhaili, dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya, koreksi atas kesalahan tarjamah harfiyah Al-Qur’an Kemenag juga dilakukan dengan memperhatikan karakter serta misi Al-Qur’an. Karakteristik Al-Qur’an yang dimaksud meliputi: jelasnya makna setiap ayat, kerincian penjelasan, ketegasan dan kemudahan dalam memaknai makna ayat, kesederhanaan pemilihan kata-kata, penyampaian yang ringkas dengan perumpamaan yang sempurna, Isinya mudah diterima akal, kandungan ayatnya mencerahkan akal dan hati, serta penyajian satu masalah dengan pola kalimat yang berbeda-beda guna memantapkan makna dan pemahaman.
Adapun misi Al-Qur’an antara lain: menjadi petunjuk ke jalan yang benar, membedakan yang hak dari yang batil, memberikan rahmat dan barakah, menjelaskan hal-hal ghaib dengan tegas, menegaskan keesaan Allah dan membatalkan syirik, dan membuka cakrawala pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam menilai kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Kemenag, digunakan parameter yang ilmiah dan obyektif. Apakah hasil terjemah itu menyalahi aqidah salaf, menyalahi kaidah logika, menyalahi struktur bahasa Arab? Juga, apakah terjemah bertentangan dari maksud ayat, atau menggiring maksud ayat ke arah yang menyimpang dari syari’at Islam?
Koreksi terjemah ini juga ditinjau dari 8 aspek: tata bahasa Indonesia, logika bahasa Indonesia, sastera Arab, latar belakang turunnya ayat, maksud ayat, aqidah, syari’ah, mu’amalah (sosial dan ekonomi). Untuk memastikan kesalahan terjemah, merujuk pula pada maksud ayat dalam bahasa Arabnya, sehingga memudahkan untuk mengoreksi serta menemukan kesalahan terjemahannya.
Berdasarkan kaidah-kaidah dan parameter inilah, maka ditemukan sebanyak 3229 kesalahan terjemah dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya. Dan seluruh terjemah Al-Qur’an yang beredar di Indonesia, yang merujuk pada terjemah Al-Qur’an versi Kemenag, secara otomatis mengandung kesalahan yang sama. Jumlah kesalahan sebanyak ini, bukan mengada-ada, melainkan berpedoman pada perhitungan salah terjemah dalam setiap ayat, bukan kesalahan per kata yang terdapat pada setiap ayat. Jika dihitung berdasarkan kesalahan per kata atau kalimat bahasa Indonesia, niscaya akan ditemukan berlipat-lipat jumlah kesalahannya.
Maka tidak berlebihan bila tarjamah harfiyah Al-Qur’an Kemenag ini –tanpa bermaksud mengadili- dapat dinilai sebagai tindakan merubah ayat Al-Qur’an dari maksud sebenarnya yang dapat menyimpangkan manusia dari jalan Allah.
Selain kontroversi terjemah Al-Qur’an yang sudah ada, sejak Februari 2010 Kemenag menerbitkan lagi terjemahan baru Al-Qur’an yang membawa misi menyesatkan: deradikalisasi Al-Qur’an. Revisi terjemah Qur’an versi terbaru, yang diterbitkan Kemenag, mengindikasikan bukan saja upaya deradikalisasi, melainkan juga deislamisasi (pendangkalan aqidah Islam) dengan lisan dan tulisan melalui terjemah Qur’an tersebut. Dengan menggunakan metode tarjamah harfiyah yang telah diharamkan oleh para ulama, sebagaimana dipaparkan di atas, hasilnya terbukti sesat dan menyesatkan.